Cerpen Dahlia Rasyad
APA yang
kau tahu tentang kopi sampai-sampai seorang Homer melegendakan kopi sebagai
minuman misterius yang punya kekuatan luar biasa tak terjelaskan? Apa yang kau
tahu tentang kopi jika Raja Louis XIV menemukan rumah kaca untuk pertama
kalinya demi melawan ketidaksanggupan tanahnya menanam kopi? O, apa yang akan
tercetuskan andai saja Newton bukan bertemu dengan buah apel, melainkan kopi?
***
AH,
ketika kopi masuk ke kehidupan Eropa, katamu, dengan jalan dari Turki ke
Venezia, sedikit cengkih dan kayu manis saja, maka para Imam dari kota Makkah
akan menuntut larangan sebar dengan alasan bid’ah. Hanya saja setelah
mencicipi, Paus Clement VIII menyebut bahwa Tuhan telah memberkati kopi. Lalu
dari Itali kopi beranjak ke Perancis, masuk ke Inggris, seterusnya hingga ke
belahan Mediterania.
Tahukah engkau Nun, ada seorang India yang
nekad membawa diam-diam benih kopi keluar dari Arab, menyembunyikannya dalam
perut lalu sesampainya di India ia simpan dan ia tanam di sebuah gua dekat
perbukitan Chikmagalgur hingga akhirnya tersebutlah ‘Old Chick’ itu? Juga
tentang seorang Wina yang mendapatkan kopi setelah ia berjuang mati-matian
mengalahkan pasukan Turki yang menyerang kotanya, lalu hanya dengan menambahkan
gula dan susu saja ia lupa dengan lelahnya pertempuran itu?
Katamu—seperti yang kau dengar dari si
tuan kebun bertahun lalu—orang-orang Eropa itu membunuhi awak-awak kapal
pedagang untuk membajak kopi karena orang-orang Arab terlalu sulit untuk
memberi kopi-kopinya. Ya, kau masih sangat mengingat itu. Cerita-cerita dari
tuan kebun yang membuatmu terkagum-kagum di ranjang pengantin, cerita-cerita
selepas malam pertama, bahagia, seperti aroma kopi yang menyesap di ingatan
tatkala butir-butir hitam garingnya pecah di lumpang batu.
Kau mengingat-ingat lagi cerita Nek Muna,
inang pengasuhmu dari dusun Pagaralam dekat pegunungan Bukit Barisan sewaktu
mandi bekasai [1] di sungai. Nek Muna menceritakan tentang
sultan Ottoman dari Turki yang sengaja melarang kopi disebarkan di negerinya
sendiri, juga petinggi-petinggi gereja di Afrika dan Yaman yang melarang
rakyatnya meminum air pahit nan candu itu hingga Menelik II dari Ethiopia
memerintah. Ai, biji-biji yang banyak membuat gadis-gadis Ulumusi dipinang
menjadi istri….
Kau tidak memulai cerita apa-apa. Seperti
biasa, diam mendengarkan cerita kawan-kawan pemetik menyampaikan apa yang ia
dengar dari orang-orang kota kalau di sana, di Turki, seorang istri wajib
menceraikan suami jika saja tidak bisa memenuhi kebutuhan kopi sehari-hari,
juga cerita ketakutan gubernur Khair Beg di Makkah yang mengira kalau kopi akan
bisa membuat rakyatnya memberontak pada kekuasaannya. Cerita-cerita itu
bergemerisik seperti dedaunan kopi dalam lambaian lembut pohon-pohon tak
ubahnya bunyi kunyahan para pemetik saat beristirahat siang di bawah
rerimbunan.
Bahkan kau sendiri pun tak tahu mengapa
kau bisa menjadi petani kopi di lereng itu. Setahumu, kau sudah menjadi petani
kopi sejak kau melihat keringat Ayahmu memercik-mercik hangat tatkala ia
menghempas karung-karung berisi buah kopi di dapur talang [2]
dengan pundak melengkung seperti bambu tua yang kasap. Tinggal berbulan-bulan
dalam hutan, memungut sisa-sisa buah kopi di tanah setelah petik racutan usai.
Lalu kau jadikan bubuk sama seperti memanggang daging anak kijang: menggali
lubang, menyalakan api, memasukkan kopi ke dalam lubang, lalu ditutup untuk
kemudian ditunggu hingga butiran-butiran manis kepahitan itu meletup-letup
keluar dari dalam.
Kau tidak punya kisah kopi untuk
diceritakan. Saat ada orang mengatakan bahwa Brazil adalah penghasil kopi
terbesar di dunia kau hanya minder karena biji kopimu hanya asalan. Saat kau
mendengar orang-orang kampungmu yang baru pulang haji mengatakan bahwa Makkah
adalah rumah bagi para penikmat kopi, kau mulai terkenang dengan hektaran kebun
kopi yang dulu pernah menjadi milikmu. Oh, apakah lelaki itu yang masih
menyelinap masuk dalam ingatanmu setiap kali daging kopi kau gigit di ujung
lidahmu? Memberi rasa manis kepahit-pahitan….
Ya, lantas apakah bagimu kopi itu, Nun?
Apakah itu rendahan, minuman memabukkan yang hanya layak untuk para budak? Atau
air kiriman dari malaikat di surga hanya untuk mereka yang beriman? Atau
mungkin air hitam nan elegan yang hanya pantas ada di cangkir-cangkir keemasan
kaum bangsawan? Kau pun mulai menceritakan tentang Kesultanan Usmaniyah yang
menghukum cambuk rakyatnya yang peminum kopi. Kau ceritakan itu lagi, tentang
Raja Gustaff II di Swedia yang menentukan benar salahnya seorang terdakwa hanya
dari minum kopi. Dan akhirnya kau bisa sedikit berani mengatakan bahwa
orang-orang di kerajaan Gustaff itu kini adalah orang-orang peminum kopi yang
paling fanatik di muka bumi!
Tentu saja, tentu saja. Meski kau tidak
tahu kalau Beethoven sampai-sampai perlu menghitung biji kopi yang akan
dinikmatinya sebanyak 60 buah, atau Bach yang menyanyikan kopi lebih nikmat
dari ribuan ciuman dalam melodiKaffee-Kantate-nya.
Telingamu yang mengkerut dan berbulu halus
itu sudah banyak mendengar anak-anak remaja mengelu-elukan Espresso khas Italia
yang konon lembut dan kentalnya tak terkatakan karena canggihnya alat penyeduh
yang mampu hanya mengeluarkan sari kopi saja dengan busa cokelat kemerahan di
atas permukaannya. Hm, kau juga sudah mendengar tentang kopi Hawaii
yang tersohor laiknya candu itu, bukan? Kopi Costa Rica yang mampu memberikan
sensasi seperti menghisap rokok, dan kopi Kenya yang diakui seantero penjuru
terlezat di dunia karena aroma dan rasanya yang seperti buah berry. Tapi
tahukah kau kalau kopi-kopi itu ditanam di Indonesia, dibawa Belanda ke
Perancis, dari Perancis ke Amerika, hingga tersebar ke pelosok dunia yang
namanya mungkin tak pernah kau dengar sama sekali?
Ai, kau hanya terkekeh kecil mendengar
itu, tak tahu-menahu apa pentingnya bagimu. Kau menganggap itu hanya seperti
cerita perjalanan yang sangat menghibur untuk orang-orang sepertimu, para
pemetik kopi yang menghabiskan tenggat umur, turun-temurun, hanya di dalam
kebun. Lalu kau ceritakan tentang kakek buyutmu yang seorang petani kopi
paksaan Belanda di tanah Jawa pada tahun 1696. Oh ternyata…ternyata, oleh sebab
itulah kau hanya diam tak bisa bercerita apa-apa setiap kali mendengar
cerita-cerita tentang kopi?
Tapi ai, mungkin memang kau tak perlu tahu
kemana dan untuk apa kopi itu ditanam. Seperti katamu, ke mana pun kopi ini
sampai, di situlah asalnya akan dibicarakan, sebab kopi-kopi inilah yang akan
menceritakan dirimu, bukan sebaliknya.
***
Sewaktu berumur lima belas, kau gadis
ranum semampai berwajah bulat bak buah kopi mengundi peruntungan di sepetak
hektar kebun milik Mang Ma’un, seorang mantan pasirah marga Pasemah yang
tersohor kaya seantero Empat Lawang. Mengumpulkan butir demi butir kopi di
keranjang bambu petungmu yang hanya sepikul, membawanya ke pancuran air sungai
yang mengalir di lingkaran bahu-bahu bukit, membasuhnya hingga getah daging
yang menempel di bijinya tersaput begitu licin. Kau jemur di atas tikar pandan
kekuningan di pematang-pematang kebun yang tanahnya bergelombang sebelum
akhirnya kau membakar balok-balok kayu pohon karet di bawah tungku berusia 70
tahun di belakang gudang penyimpanan.
“Kayu ini apinya kecil dan dapat memberi
rasa dan aroma yang khas pada kopi,” tukasmu kalem. Begitulah akhirnya tuan
kebun melihat bokongmu yang bulat dari sebalik kemban bercorak bunga yang kau
kenakan. Hingga letupan-letupan kopi yang matang dalam panci besi hitam itu
seperti irama detak jantungmu saat matanya menatapmu penuh birahi. Lalu hawa
bara dari kayu bakar di tungku lamat-lamat tak kau rasakan lagi, sama panasnya
dengan tubuhmu!
Mang Ma’un, begitu akrabnya ia dipangggil,
sebetulnya kagum dengan tangan lembutmu yang merah jambu saat pokok-pokok kopi
berbuah itu kau petik satu-persatu tanpa sedikit pun tungkai yang terlepas dari
dahannya. Tak ada mesin canggih apa pun yang bisa menggantikan tangan pemetik
sepertimu! Camnya penuh kepuasan. Maka tanpa ragu ia pun menyanggupibentalan [3]
itu: kerbau, beras, kelapa, kemiri, dan berkilo-kilo kopi….
Tapi, apakah kau tidak mengira sebelumnya
bahwa mungkin, o mungkin saja, tuan kebun kaya seperti Mang Ma’un akan banyak
memperistri gadis-gadis muda…? Sebagaimana tuan-tuan kebun di sana, ia pun
tentunya akan beristri banyak pula!
Kau menyungut di titik kenangan itu.
Airmatamu mengalir membasuh kulit wajahmu yang berdebu. Ai, sudah nyaris tiga
puluh tahun lamanya. Mang Ma’un kini bahagia dengan kedua istri mudanya yang
masing-masing telah memberinya anak lima. Sedangkan kau, hanya memberinya
seorang anak lelaki yang bernama Hamim. Anak lelaki yang berketerbelakangan
mental, dengan batok kepala sedikit membesar dan tubuh yang pendek gempal.
Hamim tak bisa berpikir, dan sering bertindak sesuai suasana hati. Jika
perasaannya sedang bosan, ia akan tiba-tiba menghilang entah kemana, minggat
berhari-hari ke rumah orang tak dikenal di dusun tetangga. Jika ia sedang
malas-malasan, ia akan memanjat pohon gamal di kebun-kebun kopi, dan bertahan
di atasnya bahkan sampai malam tiba.
“Lima hektar untuk Rogaya dan lima hektar
untuk Saridah?” sungutmu, melihat wajah Mang Ma’un yang mengangguk tenang. Ia
cuma kebagian satu hektar lantaran hanya punya satu anak.
“Mereka jantan-jantan, Nun. Sedang Hamim
tak tahu-menahu cara mengurus kebun.”
“Waktu kau pinang mereka kau sodorkan biji
kopi peraman delapan tahun, sedang aku hanya yang dua tahun. Padahal aku hidup
denganmu sewaktu tanahmu baru ampagh geboh. [4] Kau tega sekali.”
“Pantang bagiku untuk tawar-menawar bentalan,
Nun. Kau dengar sendiri, Wak Madi sangat pandai berpatah kata. Sampai tak ada
jalan untuk mengelaknya,” ujar Ma’un mengingat saat ia bermusyawarah soal biaya
pernikahan dan menentukan tanggal kawinnya dulu di rumah gadis yang sekarang
menjadi istri mudanya.
Nun diam.
“Sudahlah, tak baik kenang-kenang itu
lagi. Itu sudah lama lewat. Aku tak mungkin memberi mereka satu hektar karena
anak-anakku harus punya masa depan.”
Ia memandang Hamim yang
memelintir-melintir rambut tipisnya di muka laman sambil terus mengutak-atik
mainan gasing yang ia buat dari kayu pohon sawo. Melihat anak itu ia tak bisa
berbuat banyak lagi, memang kenyataannya ia anak yang idiot, tak bisa
diharapkan untuk meneruskan usaha kopi ayahnya, membuat hati Nun semakin
teriris perih.
Hamim tidak tumbuh laiknya orang normal.
Selain pertumbuhan otaknya yang lamban, tubuhnya juga hanya separo dari tinggi
ibunya. Matanya yang menyipit ke dalam dan kulitnya yang mirip orang mongol
membuatnya tambah berbeda dari anak-anak lain. Entahlah, bagaimana bisa sampai
ia melahirkan anak seperti Hamim. Banyak orang dusun bilang kalau ia sudah
melanggar pantangan bagi perempuan hamil duduk di buku duagho, di
mana anak yang dilahirkan akan cacat fisik dan mental, serta tidak disenangi
kelakuannya.
Namun Hamim anak yang baik. Ia tidak
pernah mengganggu orang ataupun anak-anak yang sedang bermain. Meski ia tidak
pernah diajak bermain dan kerap dijitak-jitak kepalanya, ia selalu diam dan
memilih mengalah. Ia selalu menemani Nun kemana-mana. Jika tidak sedang dilanda
galau, ia akan bersedia menggantikan ibunya menyangrai kopi dan mengangkat alu
yang nyaris seberat tubuhnya untuk ditumbukan ke lumpang yang sudah berisi biji
kopi sangrai. Ia juga kadang ikut membantu orang yang ingin berhajat
kawin ngersayo, mengumpulkan bambu dan rotan untuk dibuat lembonganatau
teratak demi meluaskan tempat masak-memasak, termasuk membongkar teratak itu di
malam nyerawo. [5]
Tapi suatu hari saat ia melihat ibunya
menangis, ia begitu sangat tersentuh dan mengguncang-guncang tubuh ibunya agar
mengatakan padanya apa yang membuatnya menangis. Nun tak sanggup mengatakan
pada sang anak untuk memilih berpisah dengan ayahnya. Nun sudah tak sanggup
hidup serumah dengan kedua istri muda suaminya, dan memilih melepaskan segala
harta warisan sehektar kebun kopi yang sudah terberikan untuknya sewaktu
ijab-qabul dulu.
Seketika saja tape nyelai dan dawat dalam
ruas-ruas bambu yang Hamim dapatkan dari membantu orang melubangi tanah sawah
berhamburan ke lantai, keluar-keluar dari pembungkusnya. Aroma khas dari daun
kemiri yang menjadi pembungkus tape itu bertebaran di mana-mana. Ia
memukul-mukul meja kayu dan menghentak-hentakkan kaki tubuh sampai terduduk,
mengusap-usap mukanya yang dibanjiri air mata hingga matanya yang sipit terbuka
ke bawah.
Hamim tak sanggup menahan emosinya yang
begitu mendalam, meski sebenarnya Nun tidak menyangka kalau sikapnya akan
sebesar itu. Ia berlari ke tengah kebun kopi yang sudah nyaris petik merah di
mana pemetik-pemetik kopi sudah siap dengan keruntung mereka untuk memanen.
Namun mereka keduluan Hamim yang membawa segerigen minyak tanah dan
menghamburkan minyak itu ke pohon-pohon kopi yang berbuah. Ia pantik karbit
korek api dengan tangannya yang gemetar oleh amarah, dan terjadilah….
Pohon-pohon kopi berebahan, menjalar ke
pohon penaung yang tumbuh di sela-sela dan pinggiran kebun, menjalar hingga
ujung patok yang bersebelahan dengan kebun sayur. Luasnya kebun dan bakaran api
yang menyebar membumbungkan asap tebal, membuat Hamim kehilangan arah jalan
keluar. Ia berteriak meminta tolong, namun orang-orang terlalu mustahil untuk
memadamkan api yang menjalar seluas itu, secepat itu. Hamim akhirnya ditemukan
hangus terbakar di tengah kayu-kayu kopi yang telah menjadi bara.
Nun histeris dan sempat tak sadarkan diri
melihat tubuh anaknya terpanggang seperti biji-biji kopi hitam yang
meletup-letup mengeluarkan rembesan darah dari dagingnya….
Ia gila karena seringnya meratap. Sampai
suatu ketika ia bisa sedikit melupakan kejadian itu ia menepikan diri di ujung
selatan kaki bukit paling rindang dalam sebuah pondok kayu merbau sisa
peninggalan sang Ayah, dan kembali menjadi pemetik kopi….
Begitulah, mengapa kau hanya diam
mendengar cerita-cerita tentang kopi, terkekeh kecil tanpa tahu-menahu apa
pentingnya itu, termasuk tentang kebun yang sebenarnya adalah milikmu sendiri,
yang Hamim coba katakan padamu saat membakar kebun itu.
Ah, kalau Newton bisa terilhami dari
sebutir apel, maka apa yang bisa kau katakan dari sebutir kopi, Nun? (*)
Catatan :
[1] Mandi Bekasai adalah
mandi bersama inang pengasuh dan para bujang gadis di sungai
sebelum kedua calon pengantin melakukan kegiatan betangasdan beinai untuk
menyambut hari pernikahan. Dalam mandi bekasai ini
kedua mempelai saling menyemburkan air secara berbalas-balasan diikuti oleh
para bujang gadis desa sambil bergembira dan bercanda. Sedangkan orang tua yang
mengikuti mereka mandi memandikan kedua mempelai dengan air yang telah dicampur
bunga.
[2] Pemukiman sangat kecil yang menyerupai
pondok yang sengaja dibuat karena lahan garap/kebun berada jauh dari dusun,
biasanya di kaki bukit yang berjarak puluhan kilometer atau berhari-hari
perjalanan.
[3] Bantuan materi dari pihak si bujang
yang disepakati dalam musyawarah urun rembuk dengan pihak si gadis perihal mas
kawin dan perlengkapan hajatan pernikahan mereka, juga penentuan tanggal
pernikahan. Bentalan ini dilakukan oleh kedua juru bicara dari kedua belah
pihak.
[4] Hutan yang baru dibabat, belum dibakar
atau dibersihkan untuk dijadikan lahan tanam. Bekas babatan kebun ini masih
centang-perenang, belum bisa ditanami.
[5] Malam hari setelah hari jadi
pernikahan dengan sejumlah acara seperti dzikir, saropal anam dan
pembubaran panitia. Siang harinya, sanak keluarga dan handai tolan
membongkar lembongan (teratak) dengan jamuan kepala kerbau
atau kepala sapi. Lalu inang pengasuh diantar pulang. Bujang
gadis dapatan atau muda-mudi yang bekerja secara sukarela
membantu membuat dekorasi dan memasak kue untuk persiapan pesta. Setelah usai
hajatan, mereka diberi uang saku sebagai uang ganti beli baju, sabun, kain dan
hadiah lainnya sebagai rasa ucapan terimakasih.