Selasa, 14 Maret 2017

Kisah Pemetik Kopi


Cerpen Dahlia Rasyad

APA yang kau tahu tentang kopi sampai-sampai seorang Homer melegendakan kopi sebagai minuman misterius yang punya kekuatan luar biasa tak terjelaskan? Apa yang kau tahu tentang kopi jika Raja Louis XIV menemukan rumah kaca untuk pertama kalinya demi melawan ketidaksanggupan tanahnya menanam kopi? O, apa yang akan tercetuskan andai saja Newton bukan bertemu dengan buah apel, melainkan kopi?
 ***
AH, ketika kopi masuk ke kehidupan Eropa, katamu, dengan jalan dari Turki ke Venezia, sedikit cengkih dan kayu manis saja, maka para Imam dari kota Makkah akan menuntut larangan sebar dengan alasan bid’ah. Hanya saja setelah mencicipi, Paus Clement VIII menyebut bahwa Tuhan telah memberkati kopi. Lalu dari Itali kopi beranjak ke Perancis, masuk ke Inggris, seterusnya hingga ke belahan Mediterania.
Tahukah engkau Nun, ada seorang India yang nekad membawa diam-diam benih kopi keluar dari Arab, menyembunyikannya dalam perut lalu sesampainya di India ia simpan dan ia tanam di sebuah gua dekat perbukitan Chikmagalgur hingga akhirnya tersebutlah ‘Old Chick’ itu? Juga tentang seorang Wina yang mendapatkan kopi setelah ia berjuang mati-matian mengalahkan pasukan Turki yang menyerang kotanya, lalu hanya dengan menambahkan gula dan susu saja ia lupa dengan lelahnya pertempuran itu?
Katamu—seperti yang kau dengar dari si tuan kebun bertahun lalu—orang-orang Eropa itu membunuhi awak-awak kapal pedagang untuk membajak kopi karena orang-orang Arab terlalu sulit untuk memberi kopi-kopinya. Ya, kau masih sangat mengingat itu. Cerita-cerita dari tuan kebun yang membuatmu terkagum-kagum di ranjang pengantin, cerita-cerita selepas malam pertama, bahagia, seperti aroma kopi yang menyesap di ingatan tatkala butir-butir hitam garingnya pecah di lumpang batu.
Kau mengingat-ingat lagi cerita Nek Muna, inang pengasuhmu dari dusun Pagaralam dekat pegunungan Bukit Barisan sewaktu mandi bekasai [1] di sungai. Nek Muna menceritakan tentang sultan Ottoman dari Turki yang sengaja melarang kopi disebarkan di negerinya sendiri, juga petinggi-petinggi gereja di Afrika dan Yaman yang melarang rakyatnya meminum air pahit nan candu itu hingga Menelik II dari Ethiopia memerintah. Ai, biji-biji yang banyak membuat gadis-gadis Ulumusi dipinang menjadi istri….
Kau tidak memulai cerita apa-apa. Seperti biasa, diam mendengarkan cerita kawan-kawan pemetik menyampaikan apa yang ia dengar dari orang-orang kota kalau di sana, di Turki, seorang istri wajib menceraikan suami jika saja tidak bisa memenuhi kebutuhan kopi sehari-hari, juga cerita ketakutan gubernur Khair Beg di Makkah yang mengira kalau kopi akan bisa membuat rakyatnya memberontak pada kekuasaannya. Cerita-cerita itu bergemerisik seperti dedaunan kopi dalam lambaian lembut pohon-pohon tak ubahnya bunyi kunyahan para pemetik saat beristirahat siang di bawah rerimbunan.
Bahkan kau sendiri pun tak tahu mengapa kau bisa menjadi petani kopi di lereng itu. Setahumu, kau sudah menjadi petani kopi sejak kau melihat keringat Ayahmu memercik-mercik hangat tatkala ia menghempas karung-karung berisi buah kopi di dapur talang [2] dengan pundak melengkung seperti bambu tua yang kasap. Tinggal berbulan-bulan dalam hutan, memungut sisa-sisa buah kopi di tanah setelah petik racutan usai. Lalu kau jadikan bubuk sama seperti memanggang daging anak kijang: menggali lubang, menyalakan api, memasukkan kopi ke dalam lubang, lalu ditutup untuk kemudian ditunggu hingga butiran-butiran manis kepahitan itu meletup-letup keluar dari dalam.
Kau tidak punya kisah kopi untuk diceritakan. Saat ada orang mengatakan bahwa Brazil adalah penghasil kopi terbesar di dunia kau hanya minder karena biji kopimu hanya asalan. Saat kau mendengar orang-orang kampungmu yang baru pulang haji mengatakan bahwa Makkah adalah rumah bagi para penikmat kopi, kau mulai terkenang dengan hektaran kebun kopi yang dulu pernah menjadi milikmu. Oh, apakah lelaki itu yang masih menyelinap masuk dalam ingatanmu setiap kali daging kopi kau gigit di ujung lidahmu? Memberi rasa manis kepahit-pahitan….
Ya, lantas apakah bagimu kopi itu, Nun? Apakah itu rendahan, minuman memabukkan yang hanya layak untuk para budak? Atau air kiriman dari malaikat di surga hanya untuk mereka yang beriman? Atau mungkin air hitam nan elegan yang hanya pantas ada di cangkir-cangkir keemasan kaum bangsawan? Kau pun mulai menceritakan tentang Kesultanan Usmaniyah yang menghukum cambuk rakyatnya yang peminum kopi. Kau ceritakan itu lagi, tentang Raja Gustaff II di Swedia yang menentukan benar salahnya seorang terdakwa hanya dari minum kopi. Dan akhirnya kau bisa sedikit berani mengatakan bahwa orang-orang di kerajaan Gustaff itu kini adalah orang-orang peminum kopi yang paling fanatik di muka bumi!
Tentu saja, tentu saja. Meski kau tidak tahu kalau Beethoven sampai-sampai perlu menghitung biji kopi yang akan dinikmatinya sebanyak 60 buah, atau Bach yang menyanyikan kopi lebih nikmat dari ribuan ciuman dalam melodiKaffee-Kantate-nya.
Telingamu yang mengkerut dan berbulu halus itu sudah banyak mendengar anak-anak remaja mengelu-elukan Espresso khas Italia yang konon lembut dan kentalnya tak terkatakan karena canggihnya alat penyeduh yang mampu hanya mengeluarkan sari kopi saja dengan busa cokelat kemerahan di atas permukaannya. Hm, kau juga sudah mendengar tentang kopi Hawaii yang tersohor laiknya candu itu, bukan? Kopi Costa Rica yang mampu memberikan sensasi seperti menghisap rokok, dan kopi Kenya yang diakui seantero penjuru terlezat di dunia karena aroma dan rasanya yang seperti buah berry. Tapi tahukah kau kalau kopi-kopi itu ditanam di Indonesia, dibawa Belanda ke Perancis, dari Perancis ke Amerika, hingga tersebar ke pelosok dunia yang namanya mungkin tak pernah kau dengar sama sekali?
Ai, kau hanya terkekeh kecil mendengar itu, tak tahu-menahu apa pentingnya bagimu. Kau menganggap itu hanya seperti cerita perjalanan yang sangat menghibur untuk orang-orang sepertimu, para pemetik kopi yang menghabiskan tenggat umur, turun-temurun, hanya di dalam kebun. Lalu kau ceritakan tentang kakek buyutmu yang seorang petani kopi paksaan Belanda di tanah Jawa pada tahun 1696. Oh ternyata…ternyata, oleh sebab itulah kau hanya diam tak bisa bercerita apa-apa setiap kali mendengar cerita-cerita tentang kopi?
Tapi ai, mungkin memang kau tak perlu tahu kemana dan untuk apa kopi itu ditanam. Seperti katamu, ke mana pun kopi ini sampai, di situlah asalnya akan dibicarakan, sebab kopi-kopi inilah yang akan menceritakan dirimu, bukan sebaliknya.
***
Sewaktu berumur lima belas, kau gadis ranum semampai berwajah bulat bak buah kopi mengundi peruntungan di sepetak hektar kebun milik Mang Ma’un, seorang mantan pasirah marga Pasemah yang tersohor kaya seantero Empat Lawang. Mengumpulkan butir demi butir kopi di keranjang bambu petungmu yang hanya sepikul, membawanya ke pancuran air sungai yang mengalir di lingkaran bahu-bahu bukit, membasuhnya hingga getah daging yang menempel di bijinya tersaput begitu licin. Kau jemur di atas tikar pandan kekuningan di pematang-pematang kebun yang tanahnya bergelombang sebelum akhirnya kau membakar balok-balok kayu pohon karet di bawah tungku berusia 70 tahun di belakang gudang penyimpanan.
“Kayu ini apinya kecil dan dapat memberi rasa dan aroma yang khas pada kopi,” tukasmu kalem. Begitulah akhirnya tuan kebun melihat bokongmu yang bulat dari sebalik kemban bercorak bunga yang kau kenakan. Hingga letupan-letupan kopi yang matang dalam panci besi hitam itu seperti irama detak jantungmu saat matanya menatapmu penuh birahi. Lalu hawa bara dari kayu bakar di tungku lamat-lamat tak kau rasakan lagi, sama panasnya dengan tubuhmu!
Mang Ma’un, begitu akrabnya ia dipangggil, sebetulnya kagum dengan tangan lembutmu yang merah jambu saat pokok-pokok kopi berbuah itu kau petik satu-persatu tanpa sedikit pun tungkai yang terlepas dari dahannya. Tak ada mesin canggih apa pun yang bisa menggantikan tangan pemetik sepertimu! Camnya penuh kepuasan. Maka tanpa ragu ia pun menyanggupibentalan [3] itu: kerbau, beras, kelapa, kemiri, dan berkilo-kilo kopi….
Tapi, apakah kau tidak mengira sebelumnya bahwa mungkin, o mungkin saja, tuan kebun kaya seperti Mang Ma’un akan banyak memperistri gadis-gadis muda…? Sebagaimana tuan-tuan kebun di sana, ia pun tentunya akan beristri banyak pula!
Kau menyungut di titik kenangan itu. Airmatamu mengalir membasuh kulit wajahmu yang berdebu. Ai, sudah nyaris tiga puluh tahun lamanya. Mang Ma’un kini bahagia dengan kedua istri mudanya yang masing-masing telah memberinya anak lima. Sedangkan kau, hanya memberinya seorang anak lelaki yang bernama Hamim. Anak lelaki yang berketerbelakangan mental, dengan batok kepala sedikit membesar dan tubuh yang pendek gempal. Hamim tak bisa berpikir, dan sering bertindak sesuai suasana hati. Jika perasaannya sedang bosan, ia akan tiba-tiba menghilang entah kemana, minggat berhari-hari ke rumah orang tak dikenal di dusun tetangga. Jika ia sedang malas-malasan, ia akan memanjat pohon gamal di kebun-kebun kopi, dan bertahan di atasnya bahkan sampai malam tiba.
“Lima hektar untuk Rogaya dan lima hektar untuk Saridah?” sungutmu, melihat wajah Mang Ma’un yang mengangguk tenang. Ia cuma kebagian satu hektar lantaran hanya punya satu anak.
“Mereka jantan-jantan, Nun. Sedang Hamim tak tahu-menahu cara mengurus kebun.”
“Waktu kau pinang mereka kau sodorkan biji kopi peraman delapan tahun, sedang aku hanya yang dua tahun. Padahal aku hidup denganmu sewaktu tanahmu baru ampagh geboh. [4] Kau tega sekali.”
“Pantang bagiku untuk tawar-menawar bentalan, Nun. Kau dengar sendiri, Wak Madi sangat pandai berpatah kata. Sampai tak ada jalan untuk mengelaknya,” ujar Ma’un mengingat saat ia bermusyawarah soal biaya pernikahan dan menentukan tanggal kawinnya dulu di rumah gadis yang sekarang menjadi istri mudanya.
Nun diam.
“Sudahlah, tak baik kenang-kenang itu lagi. Itu sudah lama lewat. Aku tak mungkin memberi mereka satu hektar karena anak-anakku harus punya masa depan.”
Ia memandang Hamim yang memelintir-melintir rambut tipisnya di muka laman sambil terus mengutak-atik mainan gasing yang ia buat dari kayu pohon sawo. Melihat anak itu ia tak bisa berbuat banyak lagi, memang kenyataannya ia anak yang idiot, tak bisa diharapkan untuk meneruskan usaha kopi ayahnya, membuat hati Nun semakin teriris perih.
Hamim tidak tumbuh laiknya orang normal. Selain pertumbuhan otaknya yang lamban, tubuhnya juga hanya separo dari tinggi ibunya. Matanya yang menyipit ke dalam dan kulitnya yang mirip orang mongol membuatnya tambah berbeda dari anak-anak lain. Entahlah, bagaimana bisa sampai ia melahirkan anak seperti Hamim. Banyak orang dusun bilang kalau ia sudah melanggar pantangan bagi perempuan hamil duduk di buku duagho, di mana anak yang dilahirkan akan cacat fisik dan mental, serta tidak disenangi kelakuannya.
Namun Hamim anak yang baik. Ia tidak pernah mengganggu orang ataupun anak-anak yang sedang bermain. Meski ia tidak pernah diajak bermain dan kerap dijitak-jitak kepalanya, ia selalu diam dan memilih mengalah. Ia selalu menemani Nun kemana-mana. Jika tidak sedang dilanda galau, ia akan bersedia menggantikan ibunya menyangrai kopi dan mengangkat alu yang nyaris seberat tubuhnya untuk ditumbukan ke lumpang yang sudah berisi biji kopi sangrai. Ia juga kadang ikut membantu orang yang ingin berhajat kawin ngersayo, mengumpulkan bambu dan rotan untuk dibuat lembonganatau teratak demi meluaskan tempat masak-memasak, termasuk membongkar teratak itu di malam nyerawo. [5]
Tapi suatu hari saat ia melihat ibunya menangis, ia begitu sangat tersentuh dan mengguncang-guncang tubuh ibunya agar mengatakan padanya apa yang membuatnya menangis. Nun tak sanggup mengatakan pada sang anak untuk memilih berpisah dengan ayahnya. Nun sudah tak sanggup hidup serumah dengan kedua istri muda suaminya, dan memilih melepaskan segala harta warisan sehektar kebun kopi yang sudah terberikan untuknya sewaktu ijab-qabul dulu.
Seketika saja tape nyelai dan dawat dalam ruas-ruas bambu yang Hamim dapatkan dari membantu orang melubangi tanah sawah berhamburan ke lantai, keluar-keluar dari pembungkusnya. Aroma khas dari daun kemiri yang menjadi pembungkus tape itu bertebaran di mana-mana. Ia memukul-mukul meja kayu dan menghentak-hentakkan kaki tubuh sampai terduduk, mengusap-usap mukanya yang dibanjiri air mata hingga matanya yang sipit terbuka ke bawah.
Hamim tak sanggup menahan emosinya yang begitu mendalam, meski sebenarnya Nun tidak menyangka kalau sikapnya akan sebesar itu. Ia berlari ke tengah kebun kopi yang sudah nyaris petik merah di mana pemetik-pemetik kopi sudah siap dengan keruntung mereka untuk memanen. Namun mereka keduluan Hamim yang membawa segerigen minyak tanah dan menghamburkan minyak itu ke pohon-pohon kopi yang berbuah. Ia pantik karbit korek api dengan tangannya yang gemetar oleh amarah, dan terjadilah….
Pohon-pohon kopi berebahan, menjalar ke pohon penaung yang tumbuh di sela-sela dan pinggiran kebun, menjalar hingga ujung patok yang bersebelahan dengan kebun sayur. Luasnya kebun dan bakaran api yang menyebar membumbungkan asap tebal, membuat Hamim kehilangan arah jalan keluar. Ia berteriak meminta tolong, namun orang-orang terlalu mustahil untuk memadamkan api yang menjalar seluas itu, secepat itu. Hamim akhirnya ditemukan hangus terbakar di tengah kayu-kayu kopi yang telah menjadi bara.
Nun histeris dan sempat tak sadarkan diri melihat tubuh anaknya terpanggang seperti biji-biji kopi hitam yang meletup-letup mengeluarkan rembesan darah dari dagingnya….
Ia gila karena seringnya meratap. Sampai suatu ketika ia bisa sedikit melupakan kejadian itu ia menepikan diri di ujung selatan kaki bukit paling rindang dalam sebuah pondok kayu merbau sisa peninggalan sang Ayah, dan kembali menjadi pemetik kopi….
Begitulah, mengapa kau hanya diam mendengar cerita-cerita tentang kopi, terkekeh kecil tanpa tahu-menahu apa pentingnya itu, termasuk tentang kebun yang sebenarnya adalah milikmu sendiri, yang Hamim coba katakan padamu saat membakar kebun itu.
Ah, kalau Newton bisa terilhami dari sebutir apel, maka apa yang bisa kau katakan dari sebutir kopi, Nun? (*)


Catatan :
[1] Mandi Bekasai adalah mandi bersama inang pengasuh dan para bujang gadis di sungai sebelum kedua calon pengantin melakukan kegiatan betangasdan beinai  untuk menyambut hari pernikahan. Dalam mandi bekasai ini kedua mempelai saling menyemburkan air secara berbalas-balasan diikuti oleh para bujang gadis desa sambil bergembira dan bercanda. Sedangkan orang tua yang mengikuti mereka mandi memandikan kedua mempelai dengan air yang telah dicampur bunga.
[2] Pemukiman sangat kecil yang menyerupai pondok yang sengaja dibuat karena lahan garap/kebun berada jauh dari dusun, biasanya di kaki bukit yang berjarak puluhan kilometer atau berhari-hari perjalanan.
[3] Bantuan materi dari pihak si bujang yang disepakati dalam musyawarah urun rembuk dengan pihak si gadis perihal mas kawin dan perlengkapan hajatan pernikahan mereka, juga penentuan tanggal pernikahan. Bentalan ini dilakukan oleh kedua juru bicara dari kedua belah pihak.
[4] Hutan yang baru dibabat, belum dibakar atau dibersihkan untuk dijadikan lahan tanam. Bekas babatan kebun ini masih centang-perenang, belum bisa ditanami.
[5] Malam hari setelah hari jadi pernikahan dengan sejumlah acara seperti dzikir, saropal anam dan pembubaran panitia. Siang harinya, sanak keluarga dan handai tolan membongkar lembongan  (teratak) dengan jamuan kepala kerbau atau kepala sapi. Lalu inang pengasuh diantar pulang. Bujang gadis dapatan atau muda-mudi yang bekerja secara sukarela membantu membuat dekorasi dan memasak kue untuk persiapan pesta. Setelah usai hajatan, mereka diberi uang saku sebagai uang ganti beli baju, sabun, kain dan hadiah lainnya sebagai rasa ucapan terimakasih.



DESING


Cerpen Pikiran Rakyat, 24 Juni 2012 – oleh Absurditas Malka

Malam-malam di desa Bonai, tak lagi tenang. Selalu ada desing yang mendesau di pucuk sepi, diakhiri sebentuk suara letus dan jeritan mengerang. Kemudian malam kembali sunyi bersama sebersit pertanyaan.
“Jangan kau keluar malam-malam. Di luar ada orang jahat menyerang.”
Pinta Elias kepada pacarnya, Matius.
“Eli, tenang sajalah tidak akan lama aku berada di luar.” Matius melerai genggam tangan Elias. Ditempuhnya pekat kota Bonai, ditepisnya segala kabar risau dan kacau, Matius tidak ingin mati di dalam kegelapan.
Berita di televisise sedang gencar menyampaikan peristiwa penembakan misterius terhadap warga kota Bonai. Pelaku penembakan sudah menjatuhkan banyak korban, aparat kepolisian selalu kehilangan jejak, tak mampu mengusut kebenaran.
“Sepi sekali ini kota.” Matius bergumam, ditatapnya lampu jalan. Cahaya berlari di atas aspal, kesepian. Sebuah motor melaju perlahan di kejauhan.
“Hoi!” Seseorang berteriak dari motor.
“Ada apa manggiI-manggil?” Matius menatap pengendara motor.
“Cari mati kau! Cepat pulang. Bonai sedang kacau. Sebaiknya kamu tidak keluyuran malam-malam.” Lelaki itu entah siapa, di belakangnya terlihat lelaki lain. Tidak berkata apa-apa, hanya menatap.
“Ada perlu, nanti juga aku pulang.” Matius menatap sekitar. Tidak ada orang.
“Awas kau, berhati-hatilah.”
Motor kembali melaju perlahan, menyisir sepi di sepanjang punggung aspal. Matius masih harus berjalan, menempuh 5o kilo meter kesunyian untuk bisa sampai di beranda rumah Esteban, pamannya Eiias.
Di tempat lain, di sebuah rumah kayu. Esteban gundah menunggu, ditatapnya mulut jalan, hanya kekosongan dan kegelapan yang terlihat sejauh tatap mengular.
“Ke mana kau? Lama sekali.” Esteban berpindah tempat duduk. Ditengoknya lagi mulut jalan. Peristiwa penembakan kembail berputar dalam ingatan.
“Matius…” Diselidiknya sosok bayang yang bergerak di pinggiran jalan. Senyum rekah di bibirnya, sosok itu memang Matius yang ditunggunya.
“Syukurlah, akhirnya kau datang. Esteban menarik lengan Matius, membawanya masuk ke dalam ruangan. Bruuuggh… Matius roboh bersimbah darah.
“Matius! Matius!” Esteban menjerit-jerit.
Punggung dan perut Matius berlubang, darah bersimbah di beranda rumah. Suara rintih dan erang, melompat dari mulut Matius, lalu hilang berpendar di kesunyian.
***
MALAM-MALAM di kota Bonai semakin cekam. Di antara sederet pertanyaan, Elias melarungkan kesedihan. Betapa butir-butir peluru bisa begitu acak, merenggut hidup dan tubuh seseorang. Betapa tangan-tangan di balik pelatuk, teramat sulit untuk ditemukan.
“Matius…” Elias menjerit di dalam hati. Angin berkesiap sepi, menebar sunyi di sudut-sudut kota Bonai.
“Aku harus menghentikan pembunuh itu.” Elias bergumam.
Diraihnya selembar kain hitam. Atas nama perasaan yang paling rawan. Elias menempuh dendam. Dicarinya tempat-tempat paling misterius di keluasan kota Bonai, dicarinya sumber-sumber desing yang semakin menabur kelam.
“Perempuan bodoh! Pulanglah kau.”
Seseorang berteriak di balik pintu rumah, Elias tidak menggubris, ditempuhnya jalan besar di kesunyian kota Bonai.
“Keluar kau pembunuh terkutuk!” Elias merutuk, tatapnya menjalar dari satu kelam ke kelam yang lain. Tidak ada yang berkelabat, tidak ada yang terlihat. Di ujung yang jauh, di bawah temaram lampu jalan, beberapa petugas polisi terlihat berjaga waspada.
“Eiias, aku percaya seteIah kegelapan pastilah ada terang.” Elias teringat pesan Matius.
“Kota ini, kelak akan seperti Jakarta. Ramai, maju, tidak terbelakang, bebas penindasan, tidak lagi menjadi korban. Percayalah.” Mimpi Matius tentang perubahan Bonai kembali berdesingan dalam khayal.
“Matius, kota ini seperti kutukan. Hanya dihamparkan Tuhan untuk dijadikan ladang kematian. Hanya untuk dihisap habis-habisan oleh tangan-tangan kekar.” Elias berbisik kepada malam.
“Elias… Elias…” Ada suara bisik, terdengar samar memanggil.
“Matius, itukah kau?” Elias menoleh ke segala arah, dicarinya sumber suara.
“Elias, pulanglah. Bisik semakin tegas terdengar.
Dari arah belakang, lelaki bertubuh tinggi besar berkelabat mendekatinya. Elias terkesiap, ditatapnya sosok itu. Separuh wajahnya tertutup kegelapan, separuhnya lagi tertimpa pudar cahaya lampu jalan.
“Siapa kamu? Kenapa kamu mengenaliku?” Kesedihan sudah merenggut Elias dalam kegilaan, keputusasaan. Seluruh kota Bonai adalah tempat asing yang terpinggir dari ingatan. Hanya rasa kehilangan satu-satunya kenyataan yang paling dikenal.
“Aku Esteban, pamanmu! Ayo, kita pulang.” Ditariknya lengan Elias.
“Tidak! Tidak! Aku tidak mau pulang! Pembunuh itu harus dihentikan!” Elias menjerit, memecah malam.
“Esteban! Cepat kau amankan Elias. Bawa dia pulang!” Teriak seseorang di balik kegelapan.
“Tenang saja kawan, aku akan membawanva pulang.”
“Matius, Matius, Matius.” Elias terus memanggil-manggil.
“Elias… Sadarlah, Matius sudah tiada. Ayo, kau harus pulang.” Esteban mendekap Elias, membawanya pulang.
“Hoi!” Dari kejauhan terdengar sapaan.
“Siapa itu?” Esteban menoleh ke arah belakang.
Sekilat, terdengar suara desing, diikuti semacam letusan. Suara jerit yang samar segera hilang, dihisap kesunyian malam.
Esteban berdiri beku, bersama sekian banyak pertanyaan.
***
“SEORANG lelaki ditemukan tewas di tempat…”
Elias menatap layar kaca, terjadi di salah satu tempat di kota Bonai. Gambar di layar kaca kembali memperlihatkan wajah perempuan pembawa berita, “Sampai saat ini kasus penembakan misterius belum bisa diselesaikan.” layar kaca berganti tampilan, terlihat orang-orang berkerumun, petugas kepolisan dan sederet pertanyaan.
“Matius…”
Elias terdengar merintih, matanya kosong menatap berita.
Bulir bening di sudut mata, jatuh membelah wajahnya.

ANAK JALANAN JUGA INGIN PINTAR


ANAK JALANAN JUGA INGIN PINTAR



Di bawah panasnya terik matahari, aku mengendarai motor di tengah keramaian kota Depok. Aku terus melaju sambil mengendarai motorku kearah tujuan kampus Universitas Gunadarma tempat aku kuliah yang berada di Depok. Setiap hari kecuali hari minggu, aku selalu melewati kota Depok dari Jakarta tempat aku tinggal. Walaupun panas-panas aku tetap semangat untuk berangkat kuliah demi menimba ilmu dan sudah menjadi kewajibanku sebagai Mahasiswa. Pada waktunya istirahat tiba, seperti biasa aku dan teman-teman beristirahat dan kami memilih untuk pergi makan dan sholat. Dan pada saat makan, Seketika saat aku sedang mengunyah makanan yang aku makan kemudian berhenti dan datanglah para pengamen dan pengemis berdatangan ke setiap rumah makan termasuk rumah makan yang aku kunjungi saat itu. Demi kenyamanan saat makan dan tidak ingin merasa terganggu, aku langsung bergegas membuka tas dan mengambil uang receh senilai seribu rupiah, lalu aku berikan kepada pengamen tersebut. Tidak lama kemudian aku telah selesai makan dan lanjut pergi ke Masjid untuk sholat, setelah itu kami kembali ke kelas untuk melanjutkan perkuliahan jam selanjutnya.

Waktu pun berlalu, aku pun pulang. Ketika sedang mengedarai motor menuju arah pulang, aku melihat ada sekumpulan para anak jalanan yang sedang berkelahi memperebutkan baju-baju bekas dan sekardus buku bekas yang diberikan oleh seorang Ibu-Ibu. Lalu aku berhenti dan menghampiri mereka. “ mengapa kalian berkelahi?”, tanyaku singkat. “Dia ingin mengambil baju yang telah ku pilih sebelumnya, kak” sahut seorang anak. “ kalian sekolah?” lanjutku. “tidak kak”. “mengapa?”. “kami tidak mempunyai uang untuk membeli buku dan peralatan sekolah kak”. “kalian bisa baca dan berhitung?”. “tidak kak”. “lalu terakhir kalian sekolah, kelas berapa?”. “ kelas 2 SD kak”. “Kakak mengapa nanya seperti itu kepada kita? Memangnya kakak bisa bantu kami? Jika kakak hanya ingin menghina kami, lebih baik kakak pergi saja”, sambung salah seorang anak bertubuh besar diantara mereka. “Tidak dik! Kakak malah ingin membantu”, jawabku. Ucapan itu keluar dari mulutku tanpa ku pikir sebelumnya. “dimana Kakak dapat menemui kalian lagi?”, sambungku. “Dihalte Bus seberang tempat biasa kita mengamen dan berjualan koran kak, kami setiap siang selalu disana.” jawab seorang anak. “Okelah, minggu depan Kakak akan  menemui kalian  lagi disana ya, tapi sekitar jam 3 sore bisa tidak? Kakak baru  pulang  dari kampus jam 3”, ujarku. “ “Iya kak, bisa!” saut anak itu. “Oiya, nama kalian siapa?” tanyaku. “aku Raka, ini Dana, yang gendut Tono, dia Fita, dan itu Dani”, jawab Raka. “Sip, kakak pulang dulu ya”.  Aku pun pergi meninggalkan mereka. Diperjalannan, aku terus memikirkan tentang kisah kehidupan mereka dan membandingkannya dengan kehidupanku yang serba cukup malah lebih dari ini. Dan aku menyadari bahwa menjalani hidup serba kekurangan itu sangat sulit dan tidak mudah mereka lalui. Dan tidak seharusnya aku berpikir bahwa pengamen-pengamen yang tadi datang di rumah makan itu pekerjaan yang tidak halal atau yang dilakukan itu rendah.

Setelah aku sampai dirumah, aku langsung menemui kedua Orang Tua aku dan menceritakan kejadian tadi. Aku menceritakan semuanya yang aku lihat di kampus dan saat aku pulang tadi. Dan lumayan lama aku membicarakannya, aku berniat untuk membantu anak-anak  jalanan tadi untuk belajar bersama dan Orang Tua ku pun setuju memperbolehkan aku untuk mengajarkan mereka belajar.

Hari pun telah berganti dan tak terasa minggu setelah kejadian itu pun tiba. Lalu aku menemui mereka di halte bus tempat biasa mereka mencari penghasilan. Dari kejauhan, aku melihat Raka dan kawan-kawannya merasa kelelahan selama siang hari ini mereka mengamen dan menjualkan Koran-koran dibawah panasnya terik matahari saat itu. Aku langsung menghampiri mereka di halte seberang dan menyaut “Hai adik-adik apa kabar kalian?” kataku. “baik-baik saja kok kak”, jawab Raka. “sepertinya kalian terlihat sangat lelah ya? Kalian laper tidak? Kakak ingin mengajak kalian makan ayam goreng sebelum mengajak kalian belajar, mau tidak??” tanyaku. “Mauuuuuuu” teriak mereka dengan serentak. “Oke, setelah itu kita belajar ya” ujarku.

Setelah selesai makan, aku mengajak mereka ke suatu tempat yaitu Perpustakaan Daerah untuk mengajarkan mereka belajar dan mereka bisa melihat buku yang didalamnya terdapat banyak gambar. Melihat mereka yang semangat ingin belajar, memotivasi ku untuk tidak menyerah menimba ilmu di perkuliahan saat ini aku jalani dan mengajarkan mereka belajar sampai mereka pintar nantinya. Mengajarkan mereka dapat membaca, menulis, dan menghitung seperti anak-anak seusia mereka saat ini. Tak terasa waktu sudah sore, belajar kami hentikan dan dilanjutkan dihari selanjutnya. Dan aku mengantarkan mereka pulang kerumah mereka masing-masing. Mereka tinggal di lingkungan padat penduduk, dengan sampah berserakkan dimana-mana. Banyak anak jalanan dan para pengemis tinggal disana. Aku masih memikirkan bagaimana cara membuat mereka dapat membaca dan menghitung seperti anak-anak normal seusia mereka. Menjelang magrib aku pun pulang dan menceritakan semua yang ku lihat tadi kepada kedua Orang Tua ku.

Seiring berjalannya waktu, aku berhasil mengajarkan mereka membaca, menulis, dan berhitung. Dan sekarang mereka pun bisa membaca, menulis, dan berhitung seperti anak-anak normal seusia mereks dan akhirnta menjadi pintar. Aku sangat senang dan merasa sangat berguna bisa membantu mereka belajar hingga pintar saat ini. Aku mengerti bahwa para anak jalanan juga butuh membaca, karena dengan membaca mereka mendapatkan informasi dari media cetak yang mereka jual. Mereka juga butuh berkomunikasi dengan yang lain, menggunakan perantara musik yang mereka mainkan. Mereka juga ingin seperti kita, mendapatkan pendidikan yang layak tetapi belum mendapatkan kesempatan seperti yang kita miliki saat ini. Maka bersyukurlah, berpikirlah bahwa apa yang kita miliki, belum tentu orang lain bisa memilikinya dan merasakan sama seperti yang kita rasakan.


Amir Membolos...Kata Bu Guru...



PONOKAWANperempuan, Cangik dan anaknya, Limbuk, punya nazar. Mereka akanmbalekno KTP ke kelurahan. Dua-duanya tergugah tekad Bu Sutarti dan Bu Rusmini. Kedua janda pahlawan itu kanbakal mengembalikan ke negara sertifikat kepahlawanan mendiang suami mereka. Ya kayakgitulah kalau sampek pengadilan tega-teganya ngetuk palu menyalahkan keduanya lantaran didakwa nyerobot rumah dinas.
Ndak cuma itu. Bu Sutarti dan Bu Rusmini mengancam akan membongkar kuburan suaminya di Taman Makam Pahlawan. Buat apa negara pura-pura hormat ke almarhum suami mereka dengan kasih pusara nduk Kalibata, kalaunyatane janda-janda kusuma bangsa itu dikuyo-kuyo.

Pas jalan ke kantor Pak Lurah, Cangik yang kurus kering dan Limbuk yang gendut-subur mandek sebentar di Senayan. Ada kerumunan manusia di sekitar gedung DPR. Ternyata seorang aktor tempo dahulu, namanya Pong Harjatmo, sedang
 manjat gedung yang bentuk atapnya kayak bokong tengkurap itu. Di atas atap sang aktor protes kok anggota DPR sering mbolos.
”Wah, Oom Pong Harjatmo itu idolaku lho, Mak,” seru Limbuk kepada emaknya. ”Aku itu paling suka acara Oom Pong di TVRI zaman dulu…Berpacuuuuu dalam Melodi!!!”
”Hush! Itu Mas Pong Hendratmo, Mbuk, eh Koes Hendratmo… Kalau Dik Pong Harjatmo itu aktor. Biasanya selalu jadi orang sial. Dulu tempo kamu belum lahir ada film remaja. Kondang banget. Dari novel Eddy D. Iskandar, orang Bandung. Judulnya Gita Cinta dari SMA. Rolnya Rano Karno dan Yessi Gusman. Nah, Dik Pong itu jadi guru SMA sing ngebet pada Ratna, si Yessi Gusman itu. Di depan Ratna, tingkah Pak Guru ini neko-neko sampai celananya mlorot dan robek di belakang bokongnya… Lalu Dik Pong, Pak Guru, lari terbirit-birit sampai murid-muridnya semua kepingkel-pingkel…
***
Matahari masih terik.
Si tambun Limbuk dan si kerempeng Cangik akan beranjak dari kerumunan di DPR Senayan, mau melanjutkan jalan kaki ke kantor kelurahan, mengembalikan mereka punya KTP. Ujuk-ujuk datang Tantowi Yahya. Putra Palembang ini muncul-muncul ndak bawa empek-empek, malah ngajak kameraman televisi sembari menyodorkan mik. ”Lihat kan demonstrasi panjat atap gedung DPR tadi? Komentar Anda?” tanyanya kepada Limbuk.
”Hehehe… Mas Tantowi… Tak pikir-pikir Om Pong keliru. Mestinya beliau tetap saja tekun di gaweannya, profesinya, jadi MC acara Berpacuuuuu dalam Melodi…
Tantowi mengernyit.
Cangkik tanggap. Ia jawil anaknya sambil bisik-bisik, ”Hush, Berpacu dalam Melodi itu Mas Koes Hendratmo… Mas Koes itu seniornya Mas Tantowi, sama-sama kadernya ratu kuis tahun 80-an, perempuan Aceh, Ibu Ani Sumadi…”
”O jadi Mas Pong yang keliru?” sambung Tantowi masih mengernyit. ”Terus… terus… Anggota DPR, sering bolos… Nggak salah?”
”Ooo ya ndak to Mas Tantowi... ndak salah… Piye to… Karena DPR kan memang bukan Taman Kanak-kanak. Di DPR nggak ada lagu yang wanti-wanti agarnggak mbolos. Kalau di TK kan ada… Amir Membolos… Kata Bu Guru…
Cangik menyela, ”Ya… Betul sekali Limbuk, anakku ini. Dulu suwargi Presiden Gus Dur sudah mau meresmikan DPR sebagai Taman Kanak-kanak, tapi anggota DPR nggak mau. Mereka malah mencak-mencak. Akibatnya ya gini, DPR nggakpunya lagu tentang masuk terus pantang mbolos…”
Cangik bener. Seandainya DPR itu TK, para anggotanya bisa menyanyikan tembang dolanan tradisional yang sangat populer dengan nada Slendro Pathet Sanga. Cangik rengeng-rengeng:
Wajibe dadi murid
Ora pareng pijer pamit
Kejobo yen loro, kejobo yen loro
Loro tenan, ora loro mung etok-etokan, aaan
Lan manehe kudu pamit nganggo layang…
Cuplikan tembang dolanan anak-anak itu kalau komplet Indonesianya begini:Please deh jadi murid mbok jangan mbolosan. Kecuali pas sedang sakit. Sakit pun harus sakit beneran yang memang gak bisa berangkat ke sekolah lho, bukan sakit hati atau sakit panu. Sakit betulan pun masih harus pakai surat. Awas ya, kalau keseringan bolos nanti kamu jadi goblok sedungu kerbau.
***
Di sekitar kerumunan penonton demo terhadap kemalasan DPR itu, dan masih di bawah terik matahari yang sama, ternyata ada juga ponokawan Gareng, Petruk, dan Bagong. Untung, Limbuk-Cangik tak jadi tertahan nduk situ lebih lama. Tantowi Yahya yang hobi nyanyi country sedianya mau mengejar Cangik dengan pertanyaan tentang tembang dolanan Wajibe Dadi Murid. ”Mas Tantowi,” desak Gareng. ”Bu Cangik ini mau ada penting ke kelurahan. Dia dan anaknya, Limbuk, mau mengembalikan KTP. Jadi biar saja mereka cepet-cepet…
Gareng yang sudah berwindu-windu saban hari kumpul Raden Arjuna lama-lama ketularan sebagian kesaktian juragannya. Yaitu, sedikit-banyak dia sanggup menjamah pikiran orang termasuk Tantowi Yahya.
Gareng mikir, seperti pikiran Tantowi, bagaimana anggota parlemen bisa tergiur menghadiri sidang wong di dalam sidang, utamanya sidang paripurna, mereka cuma disuruh denger pidato. Mereka cuma disuruh diam ndlahom dan angop-angop. Padahal parlemen itu kan asal katanya ”parle”. Artinya bicara. Karena itu…
Sik..sik Kang Gareng,” Petruk nyelonong. ”Masio parle itu maksudnyangomong, anggota parlemen kan manusia juga. Mereka sama juga dengan kita. Telinganya dua mulutnya satu…”
”Artinya lebih banyako dengar ketimbang njeplak,” Bagong ngegongi.
Gareng setuju. Makanya sulung ponokawan ini akhirnya meminta Tantowi Yahya dari Golkar untuk kembali masuk ke gedung DPR, menjadi wakil rakyat. Tidak usah bernostlagia kembali menjadi presenter seperti yuniornya Farhan, Mayong, dan Ferdi Hasan. Biarlah hanya Eko Patrio, anggota parlemen dari PAN, yang masih bersemangat menyalurkan ”parle”-nya tidak sebagai anggota DPR, tapi sebagai presenter di televisi.
(Kang Tantowi Yahya dari Golkar, apa kabar? Sori berat Sampeyan saya catut dan dapuk secara khayalan untuk masuk dalam adegan Wayang DurangpoMinggu ini. Ojok nesu yo, Kang. Salam buat Pak Ketua Umum dan lumpur Lapindo.)
Eh, saya tadi cerita soal Limbuk dan Cangik ya….?
***
Kembali ke Limbuk ke Cangik ke kelurahan. Sekarang keduanya wis tekan ndukkantor Pak Lurah.
”Gerangan apa kowe orang datang sini seperti ada penting-penting yang sangat dimaui?” tanya Bilung. Ponokawan ini baru setahun dines di kelurahan itu.
”Baiklah jika demikian pertanyaan Saudara, saya ke sini, ke kelurahan ini, datang mbarek anak saya Limbuk, saya cuma mau tegaskan, akan saya bongkar itu kuburan suami saya kalau keadaan saya dan Limbuk tetep begini-begini sajandak hujan ndak kemarau.”
Senior Bilung, Togog, yang juga ngantor di keluarahan itu menimpal, ”Apakah suamimu ditanam di Taman Makam Pahlawan? Maksudku hmmm… seperti suami Ibu Sutarti dan Ibu Rusmini?”
Ndak di Taman Makam Pahlawan. Di pemakaman umum. Tapi kalau keadaantetep begini-begini saja, saya ndak sudi suami saya dimakamkan di bumi sini, di tanah air sini… Bapaknya anak-anak akan saya kubur di Arab Saudi saja. Nanti kalau saya jadi TKI berangkat ke sana akan saya bawa sekalian…”
”Memang sudah umur gini, Ibu masih kuat kerja?” potong Togog.
Lho, yok opo, Rek. Jangan anggap enteng orang tua ya. Lihat itu di Tuban, nenek-nenek diperkosa ama tetangganya yang masih muda…”
”Tapi tetangga Ibu, eh suami Ibu itu seorang Gugur Bunga? Seorang pahlawan?” tanya Bilung.
”Pahlawan. Iya! Tapi tanpa tanda jasa.”
”Guru?”
”Iya. Guru tari remo gaya Jombang. Almarhum tidak punya sertifikat kepahlawanan. Saya ndak bisa mbalekno sertifikat itu. Tapi bisa saya kembalikan KTP saya…”
Bilung dan Togog berpikir keras. Apa yang dimaksud ”keadaan tetep begini-begini” saja oleh emak-emak yang datang dengan anak perawan gembrotnya itu. Orang mau bunuh diri memang masih banyak di tanah air. Di Blitar, misalnya, ada laki-laki mau bunuh diri dengan menggorok lehernya sendiri karena cintanya ditolak. Bukan karena stres mikirin anggota DPR atau menteri-menteri.
Di Jogja ada anak muda lompat dari gedung lantai tiga, hanya karena pelatnomer sepeda motornya telat keluar. Cuma karena pelat nomor. Bukan karena motornya hilang di parkiran. Kabar baik bulan Juli, Mahkamah Agung sudah memutuskan, pengelola parkir wajib mengganti kendaraan yang hilang di parkiran. Coba, meski wakil rakyatnya masih sering bolos, kurang enak apalagi tanah air ini? Untuk parkir saja enak, apalagi untuk hidup?
Togog: Sekarang Sampeyan masih akan membongkar makam suami dan mengembalikan KTP? Sampeyan tahu, panutan Sampeyan, Ibu Sutarti dan Ibu Rusmini, nggak jadi membongkar makam suaminya, nggak jadi mengembalikan sertifikat kepahlawanan suaminya, karena hakim akhirnya memutuskan kedua janda itu tidak bersalah? Sudah tahu beritanya belum?
Cangik menggeleng.
Limbuk: Ya, maaf Pak Togog, Pak Bilung, emakku ini nontonnya cuma gosip di televisi, Pak. Apa itu, infotainment atau apa gitu…
”Itu bukan berita. Itu sudah diharamkan!!!” sergah Bilung.
”Ya, maaf, Pak. Saya dan emak saya ndak mudeng. Kalau itu Pak, yang banyak ditonton anggota DPR, Keong Racun, itu masuknya gosip apa berita ya, Pak?”